Blog resmi MASJID BAITURRAHIIM Rt 04 Rw 04 Kel. Ledeng Kec. Cidadap Kota Bandung, blog ini merupakan sarana untuk berbagi informasi dan mempererat tali silaturahmi sesama muslim khususnya jamaah masjid Baiturrahim


Haruskah Membalas budi ?

Haruskah Membalas budi ?

Abdullâh bin ‘Abbâs radhiyallâhu'anhu bercerita,

“Suatu ketika, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam masuk ke kamar kecil (untuk membuang hajat). Maka aku menyediakan air bersih untuk Beliau pakai berwudhu. Ketika Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam selesai dari hajatnya, Beliau bertanya, “Siapakah yang telah meletakkan (air wudhu) ini?” Kemudian Beliau diberitahu, bahwa akulah yang telah melakukannya. Maka Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam (membalas kebaikanku dengan) berdoa: “Ya Allâh… berikanlah dia (Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu'anhu) pemahaman dalam agama”.

Dalam kisah yang lain, suatu saat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengunjungi sebagian Sahabat dan menyantap hidangan makanan yang disajikan kepadanya di rumah mereka. Ketika Beliau telah selesai dan hendak berpamitan, bergegas tuan rumah berkata, “Rasûlullâh, tolong doakanlah bagi kami kebaikan...”. Maka Rasûlullâh membaca, “Ya Allâh… berkahilah bagi mereka semua rizki yang telah Engkau limpahkan kepada mereka. Ampuni dan sayangilah mereka”.

Melalui dua kisah di atas, dapat dipetik sebuah pelajaran berharga, bahwa di antara tuntunan mulia Islam dalam bermu'amalah dengan sesama adalah berbudi luhur dan tidak lupa membalas budi baik orang lain dengan kebaikan pula.
Silahkan simak pembahasan tersebut dalam tulisan yang sederhana ini. Semoga bermanfaat.

Mari Berbudi Luhur

Allâh Ta'ala telah menjadikan Islam sebagai risalah yang sempurna dalam setiap tuntunannya. Syariat Islam mudah dan semua ajarannya indah. Islam mengajak setiap pemeluknya untuk berakhlak mulia terhadap sesama. Berbudi pekerti yang luhur adalah cerminan seorang Muslim di setiap ucapan dan sikap perbuatannya. Demikian itu, agar segenap hamba Allâh Ta'ala yang beriman dapat menjalankan kehidupan bermasyarakat dengan baik dan penuh kedamaian.

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian, dan yang paling dekat majelisnya denganku di hari Kiamat adalah yang paling mulia akhlaknya di antara kalian.

Dalam kesempatan lain, Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

"Aku menjamin sebuah rumah di bagian tepi surga bagi seorang yang meninggalkan debat kusir sekalipun dirinya adalah pihak yang benar. Aku menjamin sebuah rumah di bagian tengah surga  bagi yang meninggalkan dusta sekalipun dia tengah bercanda. Dan aku menjamin sebuah rumah di bagian paling atas surga bagi seorang yang mulia akhlaknya." 

Membalas Kebaikan adalah Kewajiban

Allâh Ta'ala berfirman:

…dan janganlah kalian melupakan keutamaan (siapapun) di antara kalian …(Qs. al-Baqarah/ 2:237)

Mengenai penafsiran ayat di atas, adh-Dhahhâk rahimahullâh berkata, “Keutamaan yang dimaksud adalah budi baik”. Sa`id rahimahullâh berkata, “Jangan kalian melupakan kebaikan”. Demikian pula, Qatâdah, Abu Wâ’il, as-Suddi dan lainnya menjelaskan bahwa pengertiannya adalah janganlah kalian meremehkan (melupakan) kebaikan di antara kalian…

Setiap manusia adalah makhluk sosial. Dia tidak bisa lepas dari berinteraksi dengan sesama. Tidak jarang, dia harus membutuhkan orang lain dan demikian pula sebaliknya. Atas dasar ini, kaum Muslimin diperintahkan untuk saling menghormati, saling memahami kondisi dan perasaan dan saling mengasihi terhadap yang memerlukan.

Rambu-rambu dalam pergaulan telah dipaparkan oleh Rasûlullâh dalam hadits berikut:

Barang siapa mendambakan untuk  dijauhkan dari (adzab) api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah (ketika) kematiannya datang menjemput, ia (dalam keadaan) beriman kepada Allâh dan hari Akhir.  Dan hendaklah memperlakukan manusia dengan cara yang ia sukai untuk diperlakukan dengannya.

Subhânallâh… Ini adalah bagian dari tuntunan indah agama Islam dalam bermu'amalah dengan manusia.

Secara garis besar, Islam mengajarkan kita untuk dapat berlaku baik terhadap manusia. Allâh Ta'ala mencintai bahkan memerintahkan kebaikan dalam setiap perkara. Allâh Ta'ala berfirman:

Sesungguhnya Allâh memerintahkan perbuatan adil dan kebaikan
(Qs an-Nahl/14:90)

Maka janganlah seseorang di antara kita mudah melupakan budi baik orang lain. Sungguh, seseorang yang melupakan budi baik orang lain adalah seseorang yang tidak pandai berterima kasih. Padahal berterima kasih kepada manusia atas kebaikan mereka adalah bagian dari makna bersyukur kepada Allâh Ta'ala. Sebagaimana yang disabdakan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

Tidaklah seseorang bersyukur kepada Allâh   seseorang yang tidak berterima kasih kepada manusia (atas kebaikan mereka, pen)

Dalam lafazh yang lain,
Barang siapa tidak berterimakasih kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allâh

Ibnu al-Atsîr rahimahullâh berkata,

"Maknanya adalah: Allâh Ta'ala tidak menerima syukur seorang hamba kepada-Nya atas nikmat yang telah dilimpahkan, tatkala dia tidak pandai berterima kasih atas kebaikan manusia kepadanya. Yang demikian karena (kuatnya) hubungan kedua hal tersebut satu dengan yang lain. 

Makna lain dari hadits di atas adalah barangsiapa memiliki kebiasaan tabiat mengingkari budi baik manusia dan tidak bersyukur (berterima kasih) atas kebaikan mereka, maka niscaya dia memiliki tabiat kebiasaan mengkufuri nikmat Allâh Ta'ala dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Nya.

Ada pula makna lain yang terkandung dalam hadits di atas, bahwa barang siapa tidak mensyukuri (kebaikan) manusia, maka dia layaknya orang yang tidak mensyukuri Allâh Ta'ala. Semua makna ini terpetik melalui penyebutan nama Allâh Ta'ala Yang mulia (dalam hadits di atas. pen)”.

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagai suri tauladan yang mulia telah mencontohkan bagaimana menyikapi orang yang telah menyodorkan satu kebaikan kepada beliau. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallâhu'anha pernah berkata “Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah menerima hadiah. Dan Beliau membalas hadiah itu dengan kebaikan”. (as-sunah)


KONSULTASI KEISLAMAN BERSAMA USTADZ YAHYA BULETIN AN NABA EDISI 51


Sesi konsultasi seputar agama bersama ust. Yahya, bagi kaum muslimin yang memiliki Pertanyaan, kritik dan saran, silahkan kirim  SMS  ke 0822 1867 8377


1.  Afwan ustaz.. Bershalawat pujian kepada Allah suatu ibadah sehingga jika ada orang yang melarang bershalawat orang tersebut sekutu syetan, bagaimana dalam kitab berjanji yang dibacakan ketika aqiqoh, khitanan,perkawinan diartikan yang isinya kzholimandan penghinaan kepada Alloh, seperti “keselamatan atas Muhammad penghapus bencana, keselamatan atas Muhammad wahai tempat bernanung dan meminta, dan keselamatan atas Muhammad wahai tempat memohon segala hajat, Dan masih banyak kesyirikan dan penodaan kepada Alloh dan RosulNya, Ustaz shalawat yang bagaimana yajg diajarkan rosululloh.. Mohon penjelasaanya? Syukran  08525annaba

Jawab: Bismillah walhamdulillah washolaatu wasaalamu ala rosulillah wa ba'du bersholawat kepada nabi merupakan satu ibadah yg besar pahalanya banyak hadits menjelaskan hal ini akan tetapi yang mendapatkan kebaikan tersebut apabila kita bersholawatl sebagai mana sesuai perintah rosul sebagai mana para sahabat ketika hendak bersholawat itu bertanya dahulu kepada beliau  sebagai mana dalam hadits shohih berikut ini :diriwayatkan dari Ka'b bin Ujrah: seseorang berkata, "ya Rasulullah! kami telah mengetahui bagaimana memberi salam kepadamu, tetapi bagaimanakah cara memberi shalawat kepadamu?".

Nabi Saw bersabda, "Katakan: Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberikan shalawat kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji, Maha Mulia. Ya Allah berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau berikan berkah kepada keluarga Ibrahim. sesungguhnya Engkau Maha Terpuji, Maha Mulia". (Allahumma shalli ala muhammad wa 'ala aali muhammad, kamaa shalaita 'ala aali ibrahim, innaka hamiidum majiid. Allahumma baarik 'ala muhammad wa 'ala aali muhammad, kamaa baarakta 'ala aali ibrahim, innaka hamiidum majiid.) jadi mereka yang lebih faham agama dan bahasa arab saja masih bertanya cara bersholawat ! tidak membuat buat yang baru apalagi sampai membuat sholawat yang isinya malah menyekutukan Alloh sebagai mana antum terangkan Wallohu 'alam

2. Pa ustad… mau nanya apakah orang yang mewakafkan masjid sama dengan orang yang mwkafkan tanah untuk kuburan(makam). Menurut syar’I lebih baik yang mana? Terimakasih penjelasannya faisal cimahi-02266annaba

Jawab: Mewakafkan barang atau tanah adalah perbuatan mulia baik untuk makam kaum muslimin ataupun masjid, tapi kalau ditanyakan besar fahala maka ditinjau mana yang lebih dibutuhkan, yang harus diperhatikan pemanpaatan wakafnya ! contoh kita wakaf buat masjid , tapi masjidnya tidak dimakmurkan atau dipakai sholat jamaah dan kegiatan kegiatan yang  bermanfaat bagi kepentingan islam dan kaum muslimin , maka hanya dapat sekali saja ketika mewakafkan !akan tetapi bila dimakmurkan sebagimana diatas maka akan senantiasa mengalir meskipun yang wakafnya sudah meninggal dunia. wallohu A'lam

Bagi kaum muslimin yang memiliki Pertanyaan, kritik dan saran, silahkan kirim  SMS  ke 0822 1867 8377

Seharusnya Kita Selalu Menangis edisi 51

Seharusnya Kita Selalu Menangis edisi 51


Pernahkah Anda menangis -dalam keadaan sendirian- karena takut siksa Allâh Ta’ala? Ketahuilah, sesungguhnya hal itu merupakan jaminan selamat dari neraka. Menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala akan mendorong seorang hamba untuk selalu istiqâmah di jalan-Nya, sehingga akan menjadi perisai dari api neraka. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis  karena takut kepada Allâh sampai air susu kembali ke dalam teteknya.  Dan debu di jalan Allâh tidak akan berkumpul dengan asap neraka Jahannam”.
MENGAPA HARUS MENANGIS?
Seorang Mukmin yang mengetahui keagungan Allâh Ta’ala dan hak-Nya, setiap dia melihat dirinya banyak melalaikan kewajiban dan menerjang larangan, akan khawatir dosa-dosa itu akan menyebabkan siksa Allâh Ta’ala kepadanya.
Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang”.(HR. at-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullâh).  Ibnu Abi Jamrah rahimahullâh berkata,
“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin (kepada siksa Allâh Ta’ala -pen) itu mendominasinya, karena kekuatan imannya menyebabkan dia tidak merasa aman dari hukuman itu. Inilah keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut (kepada siksa Allâh-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allâh). Dia menganggap kecil amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil”. (Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497)
Apalagi jika dia memperhatikan berbagai bencana dan musibah yang telah Allâh Ta’ala timpakan kepada orang-orang kafir di dunia ini, baik dahulu maupun sekarang. Hal itu membuatnya tidak merasa aman dari siksa Allâh Ta’ala.    Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan begitulah adzab Rabbmu apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya sangat pedih lagi keras. Sesungguhnya pada peristiwa itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada adzab akhirat. Hari Kiamat itu adalah suatu hari
dimana manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)-Nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu. Saat hari itu tiba, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang bahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih)”.(Qs Hûd/11:102-106)
Ketika dia merenungkan berbagai kejadian yang mengerikan pada hari Kiamat, berbagai kesusahan dan beban yang menanti manusia di akhirat, semua itu pasti akan menggiringnya untuk takut kepada Allâh Ta’ala al-Khâliq.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu. Sesungguhnya kegoncangan hari Kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah), pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, semua wanita yang menyusui anaknya lalai terhadap anak yang disusuinya, dan semua wanita yang hamil gugur kandungan. Kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Akan tetapi adzab Allâh itu sangat keras”.  (Qs al-Hajj/22:1-2)
Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Di dunia, mereka takut terhadap siksa Rabb mereka, kemudian berusaha menjaga diri dari siksa-Nya dengan takwa, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka, Allâh Ta’ala memberikan balasan sesuai dengan jenis amal mereka. Dia memberikan keamanan di hari Kiamat dengan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan sebagian mereka (penghuni surga-pent) menghadap kepada sebagian yang lain; mereka saling bertanya. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga, kami merasa takut (akan diadzab)”. Kemudian Allâh memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu beribadah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang”. (Qs ath-Thûr/52:25-28)
ILMU ADALAH SEBAB TANGISAN KARENA ALLÂH TA'ALA
Semakin bertambah ilmu agama seseorang, semakin tambah pula takutnya terhadap keagungan Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak,
ada yang bermacam-macam warna (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama. Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
(Qs Fâthir/35:28)  Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Surga dan neraka ditampakkan kepadaku,  maka aku tidak melihat kebaikan dan keburukan seperti hari ini.  Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui,  kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis”.
Anas bin Mâlik radhiyallâhu'anhu –perawi hadits ini- mengatakan,
“Tidaklah ada satu hari pun yang lebih berat bagi para Sahabat selain hari itu.  Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan”.  (HR. Muslim, no. 2359)
Imam Nawawi rahimahullâh berkata,
“Makna hadits ini, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan sama sekali melebihi apa yang telah aku lihat di dalam surga pada hari ini. Aku juga tidak pernah melihat keburukan melebihi apa yang telah aku lihat di dalam neraka pada hari ini. Seandainya kamu melihat apa yang telah aku lihat dan mengetahui apa yang telah aku ketahui, semua yang aku lihat hari ini dan sebelumnya, sungguh kamu pasti sangat takut, menjadi sedikit tertawa dan banyak menangis”.
(Syarh Muslim, no. 2359)
Hadits ini menunjukkan anjuran menangis karena takut terhadap siksa Allâh Ta’ala dan tidak memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa menunjukkan kelalaian dan kerasnya hati.
Lihatlah para Sahabat Nabi radhiyallâhu'anhum, begitu mudahnya mereka tersentuh oleh nasehat! Tidak sebagaimana kebanyakan orang di zaman ini. Memang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, paling banyak pemahaman agamanya, paling cepat menyambut ajaran agama. Mereka adalah Salafus Shâlih yang mulia, maka selayaknya kita meneladani mereka.
(Lihat Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihin 1/475; no. 41)
Seandainya kita mengetahui bahwa tetesan air mata karena takut kepada Allâh Ta’ala merupakan tetesan yang paling dicintai oleh Allâh Ta’ala, tentulah kita akan menangis karena-Nya atau berusaha menangis sebisanya. Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan keutamaan tetesan air mata ini dengan sabda Beliau:
“Tidak ada sesuatu yang yang lebih dicintai oleh Allâh  daripada dua tetesan dan dua bekas.
Tetesan yang berupa air mata karena takut kepada Allâh  dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allâh.  Adapun dua bekas, yaitu bekas di jalan Allâh  dan bekas di dalam (melaksanakan) suatu kewajiban  dari kewajiban-kewajiban-Nya”.
Namun yang perlu kita perhatikan juga bahwa menangis tersebut adalah benar-benar karena Allâh Ta’ala, bukan karena manusia, seperti dilakukan di hadapan jama’ah atau bahkan dishooting TV dan disiarkan secara nasional. Oleh karena itu Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjanjikan kebaikan besar bagi seseorang yang menangis dalam keadaan sendirian. Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allâh pada naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. ......(di antaranya): Seorang laki-laki yang menyebut Allâh di tempat yang sepi sehingga kedua matanya meneteskan air mata”. (HR. al-Bukhâri, no. 660; Muslim, no. 1031)
Hari Kiamat adalah hari pengadilan yang agung. Hari ketika setiap hamba akan mempertanggung-jawabkan segala amal perbuatannya. Hari saat isi hati manusia akan dibongkar, segala rahasia akan ditampakkan di hadapan Allâh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. Maka kemana orang akan berlari? Alangkah bahagianya orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allâh Ta’ala pada hari itu. Dan salah satu jalan keselamatan itu adalah menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullâh berkata,
“Wahai saudaraku, jika engkau menyebut Allâh Ta’ala, sebutlah Rabb-mu dengan hati yang kosong dari memikirkan yang lain. Jangan pikirkan sesuatu pun selain-Nya. Jika engkau memikirkan sesuatu selain-Nya, engkau tidak akan bisa menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala atau karena rindu kepada-Nya. Karena, seseorang tidak mungkin menangis sedangkan hatinya tersibukkan dengan sesuatu yang lain. Bagaimana engkau akan menangis karena rindu kepada Allâh Ta’ala dan karena takut kepada-Nya jika hatimu tersibukkan dengan selain-Nya?".
Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Seorang laki-laki yang menyebut Allâh di tempat yang sepi”,  yaitu hatinya kosong dari selain Allâh Ta’ala, badannya juga kosong (dari orang lain),  dan tidak ada seorangpun di dekatnya  yang menyebabkan tangisannya menjadi riyâ’ dan sum’ah. Namun, dia melakukan dengan ikhlas dan konsentrasi”.  (Syarh Riyâdhus Shâlihîn 2/342, no. 449)
Setelah kita mengetahui hal ini, maka alangkah pantasnya kita mulai menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala. Wallâhul Musta’ân.   HR. at-Tirmidzi, no. 1633, 2311; an-Nasâ‘i 6/12;
Ahmad 2/505; al-Hâkim 4/260; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 14/264. Syaikh Salîm al-Hilâli hafizhahullâh mengatakan, “Shahîh lighairihi”. Lihat penjelasannya dalam kitab Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihîn 1/517; no. 448)  (Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII)

  
HADIRILAH...KAJIAN-KAJIAN KEISLAMAN DI MASJID BAITURRAHIM LEDENG BANDUNG SETIAP  HARI SABTU MALAM MINGGU BA’DA ISYA SAMPAI JAM 9 MALAM  DENGAN USTAD-USTAD YANG MEMNILIKI ILMU KEISLAMAN YANG KUAT DAN BERKHARISMA.. UNTUK SABTU SEKARANG YANG AKAN MEMBERIKAN TAUSYIAH  USTAD DRS. DUDUNG RAHMAT HIDAYAT, M. Pd.  INFORMASI LEBIH LANJUT HUB : 081321839703



KONSULTASI KEISLAMAN BERSAMA USTADZ YAHYA BULETIN AN NABA EDISI 50


Sesi konsultasi seputar agama bersama ust. Yahya, bagi kaum muslimin yang memiliki Pertanyaan, kritik dan saran, silahkan kirim  SMS  ke 0822 1867 8377


1. Ustad mau nanya, saya suka merasa iri kalau melihat temen saudara yang memiliki harta lebih atau keilmuan yang lebih daripada saya apalagi kalau dicampus saya menyesali perbuatan ini apakah yang harus saya lakukan?..0811annaba

Jawab: bismillah walhamdulillah washolatu wasalaamu ala maa laa nabiyya ba'dahu, waba'du perbuatan iri merupakan perbuatan tercela,malah dapat menghapus kebaikan sebagaimana digambarkan dalam hadits shahih ,ibarat api membakar kayu,dalam riwayat yg lain rosululloh menjelaskanDari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” HR Bukhori no 73 hendaknya saudara selalu mengingat bahaya hasad dan terus berusaha menjauhkan diri dari hasad kecuali dalam 2 hal sebagai mana hadits diatas. dan harus selalu diingat bila berbuat hasad terhadap seseorang berarti kita sudah berburuk sangka kepada Alloh ,karena sama saja menyangka Alloh tidak adail dalam memberi karunianya!Naudzubillah!

2. Maaf Ustaz Mau nanya, Ustad dikampung saya shalat jumat adzannya 2x ceramahnya pakai bahasa arab ada juga yang biasa adzan 1x, yang saya tanyakan apakah kedua-duanya shaih?syukran atas jawabannya 082122annaba

Jawab: yang benar adzan 1 kali Bahwasanya adzan yang telah Allah sebutkan di dalam al-Qur`an pada mulanya dikumandangan ketika imam duduk di atas mimbar dan ketika sholat akan ditegakkan pada hari jum'at di depan pintu masjid pada masa Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-, Abu Bakar dan Umar. Kemudian ketika tiba khilafah Utsman dan orang-orang semakin bertambah banyak serta rumah-rumah saling berjauhan, Utsman memerintahkan pada hari jum'at untuk dikumandangkan adzan yang ketiga (pada sebuah riwayat disebutkan: pertama. Dan di riwayat lainnya disebutkan: adzan kedua) di atas sebuah rumah miliknya di sebuah pasar yang bernama az-Zaura`. Lalu adzan dikumandangkan di az-Zaura` sebelum beliau keluar untuk memberitahukan kepada orang-orang bahwa waktu jum'at telah tiba. Maka demikianlah seterusnya hal tersebut berlangsung, dan orang-orang tidak mencela beliau atas hal itu, akan tetapi mereka pernah mencela beliau lantaran menyempurkana shalat (tidak mengqasharnya) ketika berada di Mina. [HR. al-Bukhari, jilid 2, hlm. 314, 316, 317, Abu Dawud, jilid 1, hlm. 171, an-Nasa`i, jilid 1, hlm. 297, at-Tirmidzi, jilid 2, hlm. 392 dan Ibnu Majah, jilid 1, hlm. 228. Juga diriwayatkan oleh asy-Syafi'i, Ibnul Jarud, al-Baihaqi, Ahmad, Ishaq, Ibnu Khuzaimah, ath-Thabrani, Ibnul Munzdir, dll.] Dengan demikian jelaslah bahwa adzan dua kali yang rutin dikerjakan masyarakat umum sekarang ini berdasarkan dalil yang shahih. DUA POIN PENTING Dua Alasan Utsman -radhiallohu anhu- Adzan Dua Kali. Dapat kita ketahui bersama dari hadits di atas bahwa Utsman -radhiallohu anhu- menambahkan adzan yang pertama karena dua alasan yang sangat masuk akal: 1). Semakin banyaknya manusia, dan 2). Rumah-rumah mereka yang saling berjauhan. Barang siapa memalingkan pandangan dari dua alasan ini dan berpegang teguh dengan adzan Ustman -radhiallohu anhu- secara mutlak, maka dia tidak mengikuti petunjuk beliau -radhoallohu anhu-, bahkan ia menyalahi beliau, sebab dia tidak mau mengambil pelajaran dari dua alasan tersebut, yang mana jika keduanya tidak ada niscaya Ustman -radhiallohu anhu- tidak akan menambah Sunnah Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- dan dua khalifah sebelumnya Abu Bakar dan Umar radhiallohu anhuma. Khutbah jum'at harus dipahami oleh jamaah, jika paham bahasa arab sesuai sunnah, bila tidak maka sebaiknya di rubah kebahasa yang dapat dipahami.   

3.Pa Ustad banyak dinegara kita peminta-minta sprit dijalan2 trotoar dstopan, menurut ustad sebaiknya langkah kita bagaimana  memberinya atau todak atau lebih baik di infakan kmasjid. Mhn penjlsnya trim’s 081320annaba

Jawab: sebaiknya orang yg minta minta itu tidak dikasih ,dikarenakan banyak hal kecuali kalau orang tersebut betul betul membutuhkan dan kita tahu kondisinya, sebab bukan cerita lagi kebanyakan meminta menta sudah jadi profesi dan ini terlarang bahkan dosa besar ,sebagai mana dalam satu hadits Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain untuk memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya ia telah meminta bara api, silahkan ia mau menyedikitkannya atau memperbanyaknya'!" (HR Muslim [1041])

Bagi kaum muslimin yang memiliki Pertanyaan, kritik dan saran, silahkan kirim  SMS  ke 0822 1867 8377

Kapan Melakukan Sujud Syukur buletin edisi 50

Kapan Melakukan Sujud Syukur buletin edisi 50


Bersyukur dan bersabar merupakan dua wazhîfah (tugas) Mukmin dengan fungsi dan momen yang saling bertolak-belakang. Sabar menjadi perisainya saat mengalami takdir yang tidak mengenakkan bagi dirinya sehingga tetap sanggup teguh dan bertahan tanpa mencibir takdir ketika pahitnya hidup menderanya. Sedangkan, bersyukur, sebuah ungkapan terima kasih dengan bahasa hati dan lisan serta perbuatan kepada Allâh Ta'âla atas kebaikan dan segala nikmat yang tercurahkan.

Salah satu petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam mensyukuri nikmat-Nya, melakukan sujud syukur manakala memperoleh kenikmatan yang tak biasa, atau selamat dari ancaman musibah yang mengerikan. Dalam riwayat Abi Bakrah radhiyallâhu'anhu :

Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam bila kedatangan perkara yang (sangat) menyenangkan, menunduk untuk bersujud  (Hadits Hasan)
Nikmat Allâh Ta'âla bagi setiap manusia sangatlah banyak. Allâh Ta'âla berfirman:
Dan jika kamu menghitung nikmat Allâh, tidaklah dapat kamu menghinggakannya
(QS. Ibrâhîm/14:34)

Nikmat bernafas, kesehatan, makan, minum, bisa buang hajat merupakan contoh nikmat-nikmat yang sangat berharga. Bila seseorang tidak terhalangi dari semua itu, ia akan binasa. Akan tetapi, nikmat-nikmat itu bersifat mustamirrah (kontinyu). Jika seseorang dianjurkan untuk selalu sujud dalam mensyukurinya, sudah tentu waktunya akan habis untuk urusan sujud.

Namun dari sekian kenikmatan yang diraih seorang hamba ada yang bersifat mutajaddidah, sebuah nikmat yang sangat membahagiakan, tapi terjadi secara insidental, tidak berulang terus-menerus. Misalnya, kelahiran anak, melangsungkan pernikahan, promosi jabatan, datangnya anggota keluarga yang sudah sekian lama hilang dan hal-hal lain yang sangat mendatangkan kebahagiaan dan keceriaan. Disunnahkan bagi orang yang mendapatkannya untuk bersujud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allâh Ta'âla.

Syaikh al-‘Utsaimîn rahimahullâh menerangkan tata cara pelaksanaannya. Beliau mengambil permisalan, jika seseorang memperoleh anak, ia bersujud seperti dalam shalat dengan membaca Subhâna Rabbiyal A’lâ (atau bacaan sujud lainnya), kemudian bersyukur kepada Allâh Ta'âla atas pemberian nikmat itu dan memuji Allâh Ta'âla dengan berkata (misalnya), “Ya Rabbi, aku bersyukur kepada- Mu atas nikmat ini”.

Demikian juga bila terhindar dari musibah yang sudah benar-benar mengancam jiwa raganya. Bentuk musibah banyak sekali. Semisal, mengalami kecelakaan sampai mobil terguling-guling, namun jiwa dan raganya selamat. Atas keselamatannya ini, seorang mukmin dianjurkan juga untuk melakukan sujud syukur kepada Allâh Ta'âla yang telah menyelamatkannya dari mara bahaya.

Generasi Salaf pun telah mempraktekkannya. Ketika Ka’b bin Mâlik mendengar kabar Allâh Ta'âla menerima taubatnya, Sahabat yang mulia ini langsung bersujud syukur. Begitu pula, tatkala Khalifah Ali bin Abi Thalib menemukan jenazah Dzul Tsadyah, pentolan Khawarij, beliau bersujud syukur,

Dari sini, menjadi jelas dianjurkannya sujud syukur saat mendapatkan anugerah besar dari Allâh Ta'âla atau selamat dari mara bahaya. Inilah contoh nyata dan tuntunan dari Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam bersyukur yang mestinya dilakukan umat. Mari bersama-sama mengutamakan dan mengamalkan petunjuk Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam. Wallâhu a’lam.
(Uswah Nabi [Baituna] : Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIV)

Kuburan Bukan Untuk Ibadah

Ziarah kubur merupakan sunnah yang disyariatkan dalam Islam. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:

Aku sebelumnya telah melarang kalian berziarah kubur,
maka (sekarang) ziarahilah kubur-kubur.
(HR Muslim)

Namun maksud ziarah kubur bukanlah untuk beri’tikaf di kuburan dan menjadikannya tempat beribadah serta berperayaan. Karena itu Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat berperayaan.

Ziarah kubur memiliki dua maksud. Pertama, berkaitan dengan peziarah itu sendiri, yaitu mengingatkan para peziarah akan kematian. Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu mengatakan, “Suatu kali Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menzarahi kubur ibundanya, Beliau menangis dan membuat orang di sekitarnya menangis pula. Lalu beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda :

Aku memohon izin kepada Allâh Rabbku untuk aku memohonkan ampun bagi ibuku,
tetapi aku tidak diberi izin.
Dan aku memohon izin kepada-Nya agar aku boleh menziarahi kuburannya, maka aku diizinkan.
Oleh sebab itu ziarah kuburlah kalian, karena ziarah kubur itu akan mengingatkan kematian.
(HR. Muslim, Abu Dâwud, dll.)

Kedua, terkait dengan orang yang telah dikubur, yaitu mendoakan serta mengucapkan salam kepada mereka. Dari Sulaiman bin Buraidah radhiyallâhu'anhu , dari bapaknya, ia berkata: Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam mengajari para Sahabat (apa yang harus diucapkan) jika mereka ziarah kubur. Maka seseorang di antara mereka akan mengucapkan:

Semoga keselamatan bagi para penghuni kubur (menurut riwayat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu),
sedangkan dalam riwayat Zuhair radhiyallâhu'anhu:
Semoga keselamatan bagi kalian wahai para penghuni kubur,
yang terdiri dari kaum Mu’minin dan kaum Muslimin.
Sesungguhnya insya Allâh kami pasti akan menjumpai kalian,
aku memohon keselamatan kepada Allâh bagi kami dan bagi kalian

Ziarah kubur tidak ditentukan waktu pelaksanan pada waktu-waktu tertentu. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullâh[5] menjelaskan, “Ziarah kubur disyariatkan pada segala waktu, berdasarkan sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam :
Ziarah kuburlah kalian, karena ziarah kubur itu akan mengingatkan pada kematian.
(HR. Muslim)

Demikianlah, hendaknya kaum Muslimin yang sering melakukan ziarah kubur pada waktu-waktu tertentu dan kemudian beribadah dikuburan serta mencari berkah di dalamnya, apa lagi melakukan syaddu rihal, segera bertaubat dan meluruskan kegiatan-kegiatan ibadahnya berdasarkan syari’at Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan ikhlas.
(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV)




Pembawa Surat   Untuk Nabi Palsu    edisi 49

Pembawa Surat Untuk Nabi Palsu edisi 49


Sosok yang dipilih Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam untuk menyerahkan surat ke Musailamah al-Kadzdzâb si nabi palsu adalah Habîb bin Zaid bin ‘Ashim bin ‘Amr bin ‘Auf bin Mabdzûl bin ‘Amr bin Ghânim bin an-Najjâr al-Anshâri al-Mâzini an-Najjâri.  Beliau seorang yang mulia yang berasal dari keluarga yang baik. Kedua orang tua dan saudaranya termasuk para Sahabat yang telah berbaiat kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pada baiat ‘Aqabah. Setelah hijrah ke Madinah, beliau hidup di sisi Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, berjihad bersamanya
Ibnu Sa’ad 'alaihissalam berkata, “Habib radhiyallâhu'anhu telah ikut serta dalam peperangan Uhud, Khandaq dan peperangan lainnya”
KEMUNCULAN NABI PALSU
Pada suatu hari muncullah fitnah yang besar di selatan Jazirah Arab, yaitu munculnya dua pembohong besar yang mengaku sebagai nabi. Satu di kota Shan’â, bernama al-Aswad al-‘Ansi. Dan satu lagi di kota Yamâmah, Musailamah al-Kadzdzâb. Keduanya mengajak manusia untuk mengimani kenabian mereka.
Waktu itu, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam dikejutkan dengan datangnya utusan yang membawa surat dari Musailamah. Tertulis di dalamnya, “Dari Musailamah utusan Allâh, kepada Muhammad Rasûlullâh. Semoga keselamatan selalu tercurah padamu. ‘Amma ba’du. Sesungguhnya aku telah ikut serta dalam perkara (kenabian) bersamamu. Bagiku separoh bumi dan bagi Quraisy separoh lainnya. Akan tetapi, suku Quraisy (engkau) telah berbuat melampaui batas”.
Sebelum utusan tersebut kembali kepada Musailamah, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam memanggil salah seorang Sahabat yang biasa menulis surat untuk beliau. Setelah itu, beliau mendektekan isi surat balasan yang berisi: “Dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasûlullâh kepada Musailamah al-Kadzdzâb (pembohong), semoga keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk. ‘Amma ba’du. Sesungguhnya bumi adalah milik Allâh Ta'âla. Dia mewariskannya kepada siapa saja yang dikehendaki”

Setelah surat tersebut sampai kepadanya, Musailamah al-Kadzdzâb bertambah congkak dan kian semangat menyebarkan kebohongannya. Ia dan para pengikutnya melancarkan teror dan intimidasi terhadap kaum Muslimin. Bahkan melakukan penyiksaan terhadap kaum Muslimin yang menolak untuk menjadi pengikutnya.
Begitu mengetahui Musailamah semakin meresahkan kaum muslimin, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam ingin mengirim surat kepadanya guna melarang perbuatannya itu. Akhirnya, jatuhlah pilihan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pada Habîb bin Zaid radhiyallâhu'anhu untuk mengantar surat tersebut kepada sang pendusta.
KETEGARAN HABIB BIN ZAID RADHIYALLÂHU'ANHU
Sosok pemberani, tegar serta kokoh keislaman dan keimanannya ini, berangkat dengan membawa surat yang mulia dari Sayyidul Anbiyâ war rusul, Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan hati penuh dengan harapan Musailamah akan masuk Islam. Setelah sampai di Yamâmah, surat tersebut diserahkan kepada Musailamah. Ia membaca dan lantas merobek-robeknya dengan penuh kesombongan dan kecongkakan.
Tidak lama kemudian, dia mengumpulkan pengikut-pengikutnya untuk menyaksikan apa yang akan terjadi di hadapan mereka. Musailamah bertanya kepada Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu, “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allâh?” Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu menjawab,” Ya, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allâh”. Dengan wajah tampak pucat, Musailamah kembali bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allâh? Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu menjawab, “Aku tidak mendengar”.
Wajah Musailamah berubah seketika itu menjadi kemerahan saking murkanya kepada Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu. Kemudian si nabi palsu memanggil algojonya untuk memotong anggota badan Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu setiap kali menjawab dengan jawaban tersebut. Pertanyaan pun diulang-ulangi, akan tetapi, Sahabat yang mulia ini teguh pada pendiriannya, menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan jawaban serupa, meskipun satu-persatu anggota tubuh beliau dipotong, sampai akhirnya beliau meninggal dunia.
Sebenarnya, jika beliau menghendaki untuk mengatakan, “Ya, aku bersaksi bahwa dirimu adalah utusan Allâh” dengan hati tetap penuh dengan keimanan kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya , maka hal itu tidak akan mengurangi keimanan beliau sedikit pun. Namun, sosok seperti beliau ini yang pernah ikut baiat aqobah bersama bapak, ibu, dan saudaranya, lebih memilih mati syahid di jalan Allâh Ta'âla daripada hidup di dunia yang fana ini.
Demikianlah cuplikan kisah ketegaran Sahabat mulia Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu yang tidak takut terhadap kematian dalam mempertahankan akidahnya.
(Syakhshiyah [Baituna] : Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIV)
PELAJARAN DARI KISAH
Keutamaan Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu karena beliau adalah
1. orang yang dipilih oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam sebagai pembawa surat ke Musailamah al-Kadzdzâb.
2. Keberanian dan keteguhan hati Habîb al-Anshâri radhiyallâhu'anhu dalam mempertahankan akidah.
3. Mati syahid lebih utama daripada hidup dalam kekafiran.
4. Kesabaran di jalan dakwah atas musibah yang menimpa termasuk di antara bekal seorang da’i.
5. Besarnya kesetiaan para Sahabat  terhadap Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam .
6. Kemuliaan akhlaq Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam. Beliau tidak mau membunuh utusan orang kafir meskipun utusan tersebut kafir.
7. Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir, penutup para nabi dan rasul. Tidak ada nabi dan rasul setelahnya kecuali nabi dan rasul palsu.
Di antara mekanisme dakwah yang disyariatkan adalah dakwah melalui tulisan. Dalam hal ini, dakwah melalui media masa, koran, majalah, bulletin maupun melalui internet termasuk di dalamnya

Back To Top