Blog resmi MASJID BAITURRAHIIM Rt 04 Rw 04 Kel. Ledeng Kec. Cidadap Kota Bandung, blog ini merupakan sarana untuk berbagi informasi dan mempererat tali silaturahmi sesama muslim khususnya jamaah masjid Baiturrahim


Mendakwahi Raja Thaghut Fir'aun Saja, Allah Perintahkan Berkata Lembut


Oleh: Badrul Tamam


Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam terlimpah kepada Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Berlemahlembut dan tidak berkata kasar salah satu akhlak mulia yang sangat diagungkan Islam. Ini akan membantu terciptanya suasana harmonis dalam masyarakat muslim. Apalagi bagi para dai dan pemberi nasihat, keduanya sangat membantu tugas mereka dalam mengajak kepada kebaikan dan menjauhi keburukan.

Sebaliknya sikap kasar, galak, suka mencela, dan mudah menyematkan gelar sesat terhadap objek dakwah (saudara yang akan disadarkan) malah akan menimbulkan penolakan dan perlawanan. Karenanya tepat sekali apa yang disabdakan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

“Tidaklah lemah lembut dalam sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah sikap keras dalam segala sesuatu kecuali dia akan merusaknya.”
(HR Muslim)

Sikap lemah lembut, tutur kata santun, penuh adab, dan tanpan sikap kasar dan tanpa arogan merupakan hikmah dari sunnatullah dalam mencipta dan memerintah serta tuntutan dalam mengimani nama Allah Al-Rafiiq; artinya: Mahalembut, Mahabaik, dan Mahamenyertai.

Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah Mahalembut, menyukai orang yang lembut. Dan sesungguhnya Allah memberikan kepada kelembutan apa yang tidak diberikannya kepada sikap kasar.”
(HR. Muslim)

Allah Ta’ala Mahalembut dalam perbuatan-Nya, yaitu ketika Dia menciptakan makhluk-makhluk-Nya dengan bertahap, sedikit demi sedikit sesuai dengan hikmah dan kelembutan-Nya. Padahal Dia mampu menciptakannya sekaligus, dalam waktu sekejap.

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga Mahalembut dalam memerintah dan melarang. Dia tidak membebani hamba-Nya dengan beban-beban yang banyak secara sekaligus. Tapi, berangsur-angsur dari satu kondisi kepada kondisi yang berikutnya sehingga jiwa siap menanggungnya dan tertata emosinya. Hal itu seperti turunnya perintah puasa fardlu, pengharaman khamar, riba dan lainnya.

Berarti bahwa orang yang melakukan sesuatu dengan kelembutan dan tenang telah mengikuti sunnatulah dalam menciptakan alam semesta dan mengikuti petunjuk Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam.

Perintah Berkata Lembut Mendakwahi Raja Thaghut ‘’Fir’aun’’

Al-Qur'an mengabadikan, saat Fir’aun sudah sampai pada puncak ketaghutan dengan mengatakan, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi,” maka Allah mengutus Nabi Musa dan Harun untuk memperingatkannya dan mendakwahinya seraya berpesan,

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
(QS. Thaahaa: 44)

Yakni dengan bahasa yang mudah dipahami, halus, lembut, dan penuh adab tanpan sikap kasar, arogan, dan intimidasi dalam berkata atau bertindak brutal. Semoga dengan perkataan yang lembut ini dia jadi ingat dengan sesuatu yang bermanfaat untuknya sehinga dia melaksanakannya atau takut dengan apa yang membayakannya sehingga dia meninggalkannya. Kemudian Allah menerangkan tentang ucapannya tersebut,

 “Dan katakanlah (kepada Fir'aun): "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)" Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?".
(QS. Al-Naazi’aat: 18-19)

Itulah kalimat yang digunakan Musa dan Harun dalam mendakwahi Fir’aun, seorang thaghut yang kafir. Kenapa ada sebagian kaum muslimin yang mendakwahi dan menasihati kawannya dengan kalimat cela, mengkhawarijkan, menyesatkan, dan uangkapan-uangkapan buruk dan kasar lainnya? Apakah dia menginginkan mengeluarkan saudaranya dari keburukan ataukah sebaliknya, menginginkan keburukan tetap kukuh pada diri sahabatnya?

Berkatalah seorang shalih saat mendengar ayat ini,
“Mahasuci Engkau wahai Rabb, apabila seperti ini sikap baik-Mu kepada Fir’aun yang telah mengucapkan, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.”
(QS. Al-Naazi’aat: 24)

Maka bagimana sikap baik-Mu kepada hamba yang mengucapkan, “Mahasuci Engkau Wahai Tuhanku yang Maha Tinggi.”
Jika ini adalah kelemahlembutanmu kepada kepada Fir’aun yang telah mengucapkan, “Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.”  (QS. Al-Qashash: 38)

Lalu bagaimana kelemahlembutan-Mu terhadap hamba yang masih berucap Laa Ilaaha Illallaah (Tiada tuhan berhak disembah kecuali Allah)." Maka wahai para muwahhid, berlemah lembutlah dan berkatalah yang baik serta jangan gampang menyematkan gelar-gelar sesat kepada saudaramu yang tergelincir. Wallahu Ta’ala A’lam.

Sumber : PurWD/voa-islam.com

Bulan Muharram Dan Puasa Muharram



Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan ini disebut oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Tentunya, bulan ini memilki keutamaan yang sangat besar.

Di zaman dahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bulan ini bukanlah dinamakan bulan Al-Muharram, tetapi dinamakan bulan Shafar Al-Awwal, sedangkan bulan Shafar dinamakan Shafar Ats-Tsani. Setelah datangnya Islam kemudian Bulan ini dinamakan Al-Muharram.1

Al-Muharram di dalam bahasa Arab artinya adalah waktu yang diharamkan. Untuk apa? Untuk menzalimi diri-diri kita dan berbuat dosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ }

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu” (QS At-Taubah: 36)

Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

((… السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان.))

Setahun terdiri dari dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga berurutan, yaitu: Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah dan Al-Muharram, serta RajabMudhar yang terletak antara Jumada dan Sya’ban. “2

Pada ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ }

Janganlah kalian menzalimi diri-diri kalian di dalamnya”, karena berbuat dosa pada bulan-bulan haram ini lebih berbahaya daripada di bulan-bulan lainnya. Qatadah rahimahullah pernah berkata:

(إنَّ الظُّلْمَ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ أَعْظَمُ خَطِيْئَةً وَوِزْراً مِنَ الظُّلْمِ فِيْمَا سِوَاهَا، وَإِنْ كَانَ الظُّلْمُ عَلَى كُلِّ حَالٍ عَظِيْماً، وَلَكِنَّ اللهَ يُعَظِّمُ مِنْ أَمْرِه مَا يَشَاءُ.)

“Sesungguhnya berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat kezaliman di selain bulan-bulan tersebut. Meskipun berbuat zalim pada setiap keadaan bernilai besar, tetapi Allah membesarkan segala urusannya sesuai apa yang dikehendaki-Nya.”3

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:

(…فَجَعَلَهُنَّ حُرُماً وَعَظَّمَ حُرُمَاتِهِنَّ وَجَعَلَ الذَّنْبَ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ، وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ وَاْلأَجْرُ أَعْظَمُ.)

“…Kemudian Allah menjadikannya bulan-bulan haram, membesarkan hal-hal yang diharamkan di dalamnya dan menjadikan perbuatan dosa di dalamnya lebih besar dan menjadikan amalan soleh dan pahala juga lebih besar.”4

Haramkah berperang di bulan-bulan haram?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Jumhur ulama memandang bahwa larangan berperang pada bulan-bulan ini telah di-naskh (dihapuskan), karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ فَإِذَا انسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ }

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS At-Taubah: 5)

Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan berperang pada bulan-bulan tersebut, tidak dihapuskan dan sampai sekarang masih berlaku. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa tidak boleh memulai peperangan pada bulan-bulan ini, tetapi jika perang tersebut dimulai sebelum bulan-bulan haram dan masih berlangsung pada bulan-bulan haram, maka hal tersebut diperbolehkan.

Pendapat yang tampaknya lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi penduduk Thaif pada bulan Dzul-Qa’dah pada peperangan Hunain.5

Keutamaan Berpuasa di Bulan Muharram

Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya berpuasa selama sebulan penuh di bulan Muharram atau sebagian besar bulan Muharram. Jika demikian, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa sebanyak puasa beliau di bulan Sya’ban? Para ulama memberikan penjelasan, bahwa kemungkinan besar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui keutamaan bulan Muharram tersebut kecuali di akhir umurnya atau karena pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak udzur seperti: safar, sakit atau yang lainnya. 

Keutamaan Berpuasa di Hari ‘Asyura (10 Muharram)

Di bulan Muharram, berpuasa ‘Asyura tanggal 10 Muharram sangat ditekankan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

((…وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.))

… Dan puasa di hari ‘Asyura’ saya berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.”6

Ternyata puasa ‘Asyura’ adalah puasa yang telah dikenal oleh orang-orang Quraisy sebelum datangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga berpuasa pada hari tersebut. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:

(كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَه.)
“Dulu hari ‘Asyura, orang-orang Quraisy mempuasainya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mempuasainya. Ketika beliau pindah ke Madinah, beliau mempuasainya dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkan puasa ‘Asyura’. Barang siapa yang ingin, maka silakan berpuasa. Barang siapa yang tidak ingin, maka silakan meninggalkannya.” 7

Keutamaan Berpuasa Sehari Sebelumnya

Selain berpuasa di hari ‘Asyura disukai untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkeinginan, jika seandainya tahun depan beliau hidup, beliau akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Tetapi ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada tahun tersebut.

عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ, قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: (( فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ.)) قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpuasa di hari ‘Asyura’ dan memerintahkan manusia untuk berpuasa, para sahabat pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, ‘Apabila tahun depan -insya Allah- kita akan berpuasa dengan tanggal 9 (Muharram).’ Belum sempat tahun depan tersebut datang, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal.”8

Banyak ulama mengatakan bahwa disunnahkan juga berpuasa sesudahnya yaitu tanggal 11 Muharram. Di antara mereka ada yang berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbas berikut:

(( صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا.))

Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sebelumnya atau berpuasalah setelahnya satu hari.”9

Akan tetapi hadits ini lemah dari segi sanadnya (jalur periwayatan haditsnya).

Meskipun demikian, bukan berarti jika seseorang ingin berpuasa tanggal 11 Muharram hal tersebut terlarang. Tentu tidak, karena puasa tanggal 11 Muharram termasuk puasa di bulan Muharram dan hal tersebut disunnahkan.

Sebagian ulama juga memberikan alasan, jika berpuasa pada tanggal 11 Muharram dan 9 Muharram, maka hal tersebut dapat menghilangkan keraguan tentang bertepatan atau tidakkah hari ‘Asyura (10 Muharram) yang dia puasai tersebut, karena bisa saja penentuan masuk atau tidaknya bulan Muharram tidak tepat. Apalagi untuk saat sekarang, banyak manusia tergantung dengan ilmu astronomi dalam penentuan awal bulan, kecuali pada bulan Ramadhan, Syawal dan Dzul-Hijjah. 

Tingkatan berpuasa ‘Asyura yang disebutkan oleh para ahli fiqh

Para ulama membuat beberapa tingkatan dalam berpuasa di hari ‘Asyura ini, sebagai berikut:
  1. Tingkatan pertama: Berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.
  2. Tingkatan kedua: Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
  3. Tingkatan ketiga: Berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram.
  4. Tingkatan keempat: Berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram.
Sebagian ulama mengatakan makruhnya berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram, karena hal tersebut mendekati penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Yang berpendapat demikian di antaranya adalah: Ibnu ‘Abbas, Imam Ahmad dan sebagian madzhab Abi Hanifah.

Allahu a’lam, pendapat yang kuat tidak mengapa berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram, karena seperti itulah yang dilakukan oleh Rasulullah selama beliau hidup. 

Hari ‘Asyura, Hari Bergembira atau Hari Bersedih?

Kaum muslimin mengerjakan puasa sunnah pada hari ini. Sedangkan banyak di kalangan manusia, memperingati hari ini dengan kesedihan dan ada juga yang memperingati hari ini dengan bergembira dengan berlapang-lapang dalam menyediakan makanan dan lainnya.

Kedua hal tersebut salah. Orang-orang yang memperingatinya dengan kesedihan, maka orang tersebut laiknya aliran Syi’ah yang memperingati hari wafatnya Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Husain radhiallahu ‘anhu terbunuh di Karbala’ oleh orang-orang yang mengaku mendukungnya. Kemudian orang-orang Syi’ah pun menjadikannya sebagai hari penyesalan dan kesedihan atas meninggalnya Husain.

Di Iran, yaitu pusat penyebaran Syi’ah saat ini, merupakan suatu pemandangan yang wajar, kaum lelaki melukai kepala-kepala dengan pisau mereka hingga mengucurkan darah, begitu pula dengan kaum wanita mereka melukai punggung-punggung mereka dengan benda-benda tajam.

Begitu pula menjadi pemandangan yang wajar mereka menangis dan memukul wajah mereka, sebagai lambang kesedihan mereka atas terbunuhnya Husain radhiallahu ‘anhu.

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: (( لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.))

Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti teriakan orang-orang di masa Jahiliyah.”10

Kalau dipikir, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama di hari meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, Padahal beliau juga wafat terbunuh?

Di antara manusia juga ada yang memperingatinya dengan bergembira. Mereka sengaja memasak dan menyediakan makanan lebih, memberikan nafkah lebih dan bergembira layaknya ‘idul-fithri.

Mereka berdalil dengan hadits lemah:

(( مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِي سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ.))

Barang siapa yang berlapang-lapang kepada keluarganya di hari ‘Asyura’, maka Allah akan melapangkannya sepanjang tahun tersebut.”11

Dan perlu diketahui merayakan hari ‘Asyura’ dengan seperti ini adalah bentuk penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Mereka bergembira pada hari ini dan menjadikannya sebagai hari raya.

Demikianlah sedikit pembahasan tentang bulan Muharram dan keutamaan berpuasa di dalamnya. Mudahan kita bisa mengawali tahun baru Islam ini dengan ketaatan. Dan Mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.

Daftar Pustaka
  1. Ad-Dibaj ‘Ala Muslim. Jalaluddin As-Suyuthi.
  2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Imam An-Nawawi.
  3. Fiqhussunnah. Sayyid Sabiq.
  4. Risalah fi Ahadits Syahrillah Al-Muharram. ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. http://www.islamlight.net/
  5. Tuhfatul-Ahwadzi. Muhammad ‘Abdurrahman Al-Mubarakfuri.
  6. Buku-buku hadits dan tafsir dalam catatan kaki (footnotes) dan buku-buku lain yang sebagian besar sudah dicantumkan di footnotes.
Catatan Kaki
1 Lihat penjelasan As-Suyuthi dalam Ad-Dibaj ‘ala Muslim tentang hadits di atas.
2 HR Al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679/4383.
3 Tafsir ibnu Abi hatim VI/1793.
4 Tafsir Ibnu Abi Hatim VI/1791.
5 Lihat Tafsir Al-Karim Ar-Rahman hal. 218, tafsir Surat Al-Maidah: 2.
6 HR Muslim no. 1162/2746.
7 HR Al-Bukhari no. 2002.
8 HR Muslim no. 1134/2666.
9 HR Ahmad no. 2153, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra no. 8189 dan yang lainnya. Syaikh Syu’aib dan Syaikh Al-Albani menghukumi hadits ini lemah.
10 HR Al-Bukhari 1294.
11 HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 9864 dari Abdullah bin Mas’ud dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab no. 3513,3514 dan 3515 dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri. Keseluruhan jalur tersebut lemah dan tidak mungkin saling menguatkan, sebagaimana dijelaskan dengan rinci oleh Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6824.

Penulis: Ustadz Sa’id Ya’i Ardiansyah, Lc., M.A.
Artikel Muslim.Or.Id
Back To Top